Perempuan Lembah Baliem
Oleh: Rurisa Hartomo
Kulit gelapnya tampak mengkilat
Mace mengoles buah merah ke wajah
Melukis paras rona kembang
Rumbai rumput menutup pusar
Buah dada yang terbuka dihiasi gemerincing kalung tulang
Yawu Wanuem
Suaminya tak lagi di kebun, mencari kayu bakar atau memelihara ternak
Lelaki itu berpesta, berkutat judi, togel, dan arak
Mace menyusui anak pertama kemudian menggendongnya dengan noken
Pergi ke ladang di balik bukit, tangannya terampil menanam ubi
Mace pulang ke honai
Ubi dari kebun dibakarnya pada tungku kayu
Sementara menunggu matang ia menganyam lokop
Sang lelaki belum kembali
Tiba lomba karapan anak babi
Mace bersiap meski tak didengar
Sebelum tarian Wisisi berakhir
Ia menyusui anak keduanya
Jakarta, 01 Juni 2025
Catatan:
Yawu Wanuem: lirik lagu yang berkisah tentang kehidupan orang Baliem zaman modern. Para lelaki sudah tidak mau bekerja lagi di kebun, mencari kayu bakar, memelihara ternak tetapi lebih banyak menghabiskan waktu untuk kegiatan yang tidak produktif seperti mengkonsumsi miras, bermain togel, ikut acara malam, hingga melakukan praktek seks bebas. Aktivitas ini dilakukan oleh kaum laki-laki yang seharusnya mengemban tugas dan peran sebagai kepala keluarga. Tanggung jawab rumah tangga seperti mengurus anak, kerja di kebun, mencari kayu bakar, mengambil air di sungai diserahkan sepenuhnya kepada kaum perempuan dan anak-anak. Laki-laki Baliem sebagai kepala rumah tangga sering menggangap dirinya lebih berkuasa dibandingkan perempuan dan bertindak sesuka hatinya.
Mace: Ibu
Anak Babi: dianggap sebagai anak kedua perempuan Wamena. Pemeliharaan babi menjadi tanggung jawab seorang wanita.
Noken: tas tradisional Papua terbuat dari serat kayu yang dibawa dengan menggunakan kepala. Noken adalah simbol kesuburan
Honai: rumah adat Papua berbentuk bundar lingkaran beratap jerami
Lokop: tikar untuk alas tidur
Tarian Wisisi: tarian tradisional di dataran tinggi Papua
___
Bionarasi:
Rurisa Hartomo, latar belakang pendidikan Magister Hukum Bisnis. Di sela-sela pekerjaan utamanya di bidang Chemical Construction, ia memiliki minat literasi. Penulis merupakan Co-Founder RUANGMENULIS.ID (RMID). Selain berkarya melalui buku, Ia bersama komunitas mengadakan program RMID Goes to School melalui kelas literasi jenjang SMP SMA. Ia mengikuti kelas penulisan biografi bersama Anang YB., penulisan novel sejarah bersama Donna Widjayanto, pelatihan jurnalistik, kelas Puisi AIS bersama Muhammad Asqalani. Puisinya masuk 25 besar Lomba Cipta Puisi Rempah Nusantara bersama Competer Indonesia 2024 dan diantaranya dimuat di Tiras Times, Ranah Riau, Dapur Sastra Jakarta. Penulis dapat dihubungi melalui WA 0815.8881826, surel rurisahartomo@gmail.com, Facebook, dan IG: @rurisahartomo
Semangat Mace. Perempuan2 luar biasa, dibalik sifatnya yang lembut dan penyayang, ada energi yg kuat n perkasa.
BalasHapusTerima kasih kak atas apresiasinya. Ya benar Mace mewakili perempuan-perempuan yang berjuang hidup di tengah kondisi yang tidak mudah.
HapusMace disetiap belahan dunia selalu menjadi tokoh yang kuat,penyabar dan penuh kasih serta berani berkorban untuk anak - anaknya.Semoga semua Mace dimana pun berada selalu diberkati Tuhan
BalasHapusTerima kasih kak untuk apresiasinya, semoga setiap mace dimaapun dia berada, diberi kekuatan untuk menjalani hidupnya. Amin.
HapusPerempuan Lembah Baliem, sebuah puisi yang mengambarkan realita kehidupan yang sebenarnya di Lembah Baliem. Saya sendiri pernah tinggal di wilayah timur Indonesia dan melihat sendiri para lelaki di sana lebih banyak menghabiskan waktunya untuk berjudi, sabung ayam, berjudi pacuan kuda, mabok, berpesta dan menjual babi, walaupun tijdvak semua melakukan hal itu terapi pada umumnya demikian. Justru para perempuan yang harus berjuang kerja keras untuk menghidupi keluarganya dari mencari nafkah, merawat anak, mengurus rumah, Padang menenun dll dengan alasan adatnya sudah seperti lelaki harus di hormati. Rasanya gemas melihat hal itu terapi kita sebagai pendatang juga tidak bisa berbuat apa-apa karena terbentur oleh aturan adat. Selamat Rurisa teruslah menulis dan ikuti kata hatimu dalam menentukan alur penulisan.
BalasHapusKisah ini memang benar realita kak. Sangat menyedihkan ya, terlebih hukum adat memberi relasi kuasa kepada pihak laki-laki. Saya berharap perempuan-perempuan di sana dapat diberi hikmat dan keberanian untuk bicara. Mereka berhak untuk hidup tidak hanya untuk mempertahankan keutuhan keluarganya saja tapi juga untuk dirinya sendiri. Terima kasih untuk tanggapan dan empati yang disampaikan.
HapusMace mewakili jutaan perempuan yg mencari nafkah menghidupi keluarganya dan sementara suaminya hanya bermain tanpa penghasilan, ini adalah fenomena atau gambaran masa kini yg mana lebih banyak perempuan mencari nafkah drpd laki-laki, karena pa? Karena perempuan lebih giat, lebih mementingkan keluarga drpd dirinya sendiri, semoga sukses utk mbak Ruri, keren daah....
BalasHapusTerima kasih kak untuk apresiasinya. Benar kak, meski perempuan masa kini sudah banyak yang bisa mencari penghasilan sendiri tapi tidak berarti menghilangkan tanggung jawab laki-laki sebagai kepala keluarga. Semoga Mace yang mewakili perempuan berhak mendapatkan kebahagiaannya juga.
HapusTerharu saya baca perjuangan Mace perpaduan dari kasih sayang, ketangguhan, kehebatan perempuan, tanggung jawab yang besar dan keihlasan. Luar biasa Mace😍
BalasHapusTerima kasih kak sudah membaca hidup Mace dalam puisi. Semoga Mace-Mace lain juga bisa tangguh, kuat dan penuh kasih. Tentu saja dalam kondisi yang lebih baik dari Mace dalam puisi ini.
BalasHapus