Kulit dan Kekosongan di Baliknya

 


Oleh: Cindy Neo


Kulit itu dijaga,

dipoles tiap pagi dengan takut dan takzim,

dihias aturan yang turun dari lidah—

bukan dari kesadaran yang menyala.


Mereka menari di atas kata-kata warisan,

mengulang gerak yang dihafal tulus,

tapi lupa bertanya:

untuk siapa jantung ini berdetak?


Seperti memeluk peta,

namun tak pernah benar-benar berjalan.

Langkahnya riuh,

tapi batinnya sunyi—terasing.


Ada yang menggigil,

mencari isi lebih dalam dari hafalan,

namun dituding sesat

karena menyingkap lapisan

yang tak tercetak di buku mana pun.


Padahal kulit,

jika tak membawa inti,

hanyalah denting kebiasaan—

berbunyi tanpa gema,

bergetar tanpa makna,

sekadar gema kosong

di lorong-lorong takut

yang tak pernah sampai pada pulang.


Pekanbaru, 2025



Sumber Ilustrasi: 

___

Cindy Neo. Kelahiran Pekanbaru, 16 April 1994. Seorang penulis dan pekerja seni yang lahir dari tanah Melayu, tumbuh bersama kata, dan bekerja di dunia visual—sebagai perupa momen dalam bidang dekorasi. 

Sejak kecil, ia telah menemukan dirinya tenggelam dalam tulisan. Baginya, menulis adalah cara menyelamatkan diri dari banjir emosi, kenangan, dan percakapan yang tak sempat diucapkan.

“Aku menulis karena ingin mengalirkan segala yang mengendap di dalam kepala.”

Ia percaya bahwa tulisan bukan sekadar rangkaian kata, tetapi ruang untuk berdamai, bertumbuh, dan mendengarkan suara batin yang kerap terlupakan.

Telah bergabung di berbagai komunitas sastra seperti Malam Puisi Pekanbaru, Paragraf, dan Asqa Imajination School (AIS).

Puisinya dimuat di Ranah Riau, Salmah Publishing, KKR Bali, Tatkala.co, Tirastimes. Buku perdananya yang akan terbit bertajuk Dalam Sunyi, Aku Pulang

Ia terus melangkah sebagai pejalan rasa—yang menyulam kata menjadi jembatan penyembuhan.

Motto hidupnya: “Aku hidup untuk menjadi saluran manfaat—melalui kata dan rasa.”

IG: @pejalancinta_

Related Post

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Artikel